Senin, 15 Januari 2018

Pelatih Terbaik Di Dunia

10. PETER BOSZ

Read more at https://www.fourfourtwo.com/id/features/50-pelatih-terbaik-dunia-2017-versi-fourfourtwo-10-1#eR9wFPvMHASr2AYd.99
Saat pria 53 tahun yang merupakan seorang mantan pelatih Vitesse, Peter Bosz, untuk pertama kalinya ditunjuk duduk di kursi panas milik Ajax, reaksi yang muncul adalah sinis, skeptis, dan bahkan penolakan secara terang-terangan. Sebagian besar kelompok fans fanatik Ajax di Amsterdam, dan bahkan salah satu kelompok suporter resmi, secara terang-terangan menunjukkan ketidaksenangan mereka pada sosok yang akan memegang klub kesayangan mereka ini, terutama karena masa lalunya terikat erat dengan Feyenoord, sang rival abadi.
Setahun berselang, rasanya lucu melihat bagaimana justru seorang mantan pemain Feyenoord inilah yang bisa memberikan gaya sepakbola yang begitu dekat dengan masa-masa kejayaan Ajax dulu, dibandingkan sosok sebelumnya, yang notabene adalah legenda mereka, Frank de Boer, dimana de Boer tidak memberikan sesuatu yang spesial selama empat setengah tahun menukangi Ajax. Ia berhasil membuat para fans terkagum-kagum, terpesona, dan bisa menyatukan diri kembali dengan klub legendaris ini.
MENGUKIR JALAN-NYA SENDIRI
Bosz selalu terlihat sebagai sosok yang tidak biasa. Bermain sebagai gelandang bertahan yang tangguh di sepanjang kariernya, di masa-masa sebelum peraturan Bosman berlaku, ia mengurus dan menegosiasikan sendiri kontraknya, sehingga tidak ada satupun klub yang bisa mengikatnya tanpa izin dirinya.
Saat Vitesse menolak, ia memilih untuk pindah ke klub amatir AGOVV dan memanjat sendiri ke puncak. Akhirnya ia berhasil, bermain selama enam musim di Feyenoord dan menjadi bagian dari skuat Belanda di Piala Eropa 92.
Ia kemudian menjadi direktur teknis di Feyenoord, di antaranya ia juga sempat dua kali secara sukses menjadi manajer Heracles, di mana ia memberikan hadiah promosi pada mereka di masa perdana dan kemudian membawa tim ini lolos ke Eropa.
Di tahun 2013, Bosz pindah ke Vitesse dan menghabiskan dua setengah tahun di Arhnem sebelum 18 bulan kemudian membuatnya berpetualang dari Vitesse ke Maccabi, ke Ajax, dan sekarang menjadi manajer Borussia Dortmund.
PENGARUH BESAR CRUYFF
Bosz, meski memiliki sejarah dengan Feyenoord, adalah pengagum Johan Cruyff dari masa mudanya, dan sebagai pemain Vitesse, ia bahkan punya tiket musiman Ajax. Saat ia menjadi bagian dari skuat Belanda di Piala Eropa 92, di bawah Rinus Michels yang legendaris, kabarnya ia akan berlari kembali ke kamar setelah pertemuan tim untuk mengisi buku catatan kecilnya dengan apa yang disampaikan sang manajer, dan memfokuskan diri pada persiapan untuk pertandingan.
Semenjak muda, Bosz tahu persis ia ingin menjadi pelatih. "Bukan sebuah rahasia saya ingin melatih di tim besar. Saya dulu bermain untuk tim besar di Feyenoord. Saya bahkan membela Belanda," ucapnya. "Tapi saya tidak pernah melihat diri sebagai pemain papan atas, saya hanya cukup bagus di lapangan. Tapi sebagai pelatih, saya sangat ingin bisa jadi yang terbaik."
Tim Barcelona milik Guardiola di musim 2009/11 yang memenangkan segalanya tetap menjadi tim ideal Bosz, seperti juga tim Piala Dunia Belanda di tahun 1974, terutama dengan energi luar biasa mereka dan usaha super keras saat melakukan pressing.
Saat mengadaptasi filosofi miliknya sendiri, Bosz mengandalkan permainan yang berpusat pada menggerakkan bola dengan cepat, dan membuat para pemainnya hanya berlari kencang di jarak pendek. Ia juga menjalankan 'peraturan lima detik' dalam hal pressing. Karena ini adalah waktu yang kira-kira dibutuhkan untuk sebuah tim berubah/transisi dari bentuk serangan ke bertahan saat kehilangan bola, maka sangat ideal untuk menyerang mereka di periode transisi ini, di mana mereka sedang sangat rapuh dan tidak tertata rapi. Karena itu, pemainnya  sesegera mungkin setelah kehilangan bola,  harus bisa menekan dengan tinggi  dan keras ,lalu mencoba untuk memenangkan bola lagi dalam waktu lima detik saja.
AKHIR YANG TERLALU DINI
Bosz menyandarkan diri pada prinsip tua nan fundamental ala Total Football, dan menegaskan pentingnya ruang di lapangan pada pemainnya. Saat Anda menguasai bola, Anda harus membuat lapangan sebesar mungkin dan membuat lawan berpencar. Saat kehilangan bola, Anda tidak mundur, namun menyusut untuk membentuk pola yang rapi dan mencegah lawan maju ke depan.
Ini jelas adalah sepakbola gas-tinggi, tempo tinggi, dan pressing tinggi, yang mengembalikan aura Ajax yang sempat hilang selama beberapa tahun. Memang butuh waktu untuk semuanya menyatu dan bergerak kencang, tapi saat ini terjadi, Ajax sangatlah mempesona.
Tidak diragukan lagi banyak fans -bahkan yang sebelumnya menolak dirinya- kecewa dengan fakta bahwa setelah hanya satu tahun, 'Bosz Project' di Ajax harus berakhir secara dini.
Dari jauh, tampak sangat logis bagi seorang pelatih di Ajax untuk melangkah ke klub yang memiliki sumber daya lebih baik, dan di liga yang lebih sulit semacam Borussia Dortmund. Meski begitu, perselisihan internal dengan asisten pelatihnya, Dennis Bergkamp dan Hennie Sijkerman tampaknya memuluskan kepergiannya ini, terutama karena segalanya tampak begitu dramatis dan pahit.
Bosz seringkali mendapat kritik karena keras kepala dan idealis dengan gaya sepakbola-nya -sesuatu yang juga dilemparkan ke nama-nama semacam Guardiola dan Cruyff. Ini bisa jadi muncul juga karena rekor miliknya yang meski selalu memberikan hiburan luar biasa, Bosz masih belum mendapatkan trofi penting sebagai pelatih hingga saat ini.
Bersama Dortmund, Bosz sekarang punya skuat yang memiliki materi yang sama dengan tim Ajax yang ia butuhkan untuk bermain maksimal: talenta muda, mau bermain dengan ataupun tanpa bola, dan mampu berpikir cepat. Apakah ia mampu menciptakan tantangan yang cukup hebat bagi Bayern Munich di musim baru nanti dan lolos jauh di Eropa akan menjadi dasar penting ke kisahnya -cerita seorang pelatih yang dengan sabar menanti waktu, dan sekarang tampak siap untuk meledak ke angkasa.

9. JURGEN KLOPP
Danny Blanchflower tidak sepenuhnya salah, tapi sepakbola lebih dari sekedar kejayaan. Ini adalah tentang kebahagiaan, kepemilikan, kesetiaan, kesenangan, kebanggaan, rasa sombong, dan tingkah laku -dan, saat memungkinkan, kejayaan juga.
Ada banyak manajer bisa memberikan beberapa hal di atas. Jurgen Klopp mungkin saja satu-satunya yang bisa memberikan semua hal tersebut.
Meski finis di posisi empat musim lalu yang mungkin tidak terlihat seperti sebuah misi penyelamatan yang sempurna bagi para fans yang penuh harapan ketika ia ditunjuk menjadi manajer, faktanya adalah dengan waktu singkat Klopp di Anfield, dia mampu mengubah klub yang kehilangan motivasi dan tanpa arah ini menjadi sebuah klub yang penuh harapan dan mempesona.
Perubahaan mood ini tampak jelas dalam peningkatan tim: enam bulan setelah ia mengambil alih, mereka lolos ke Final Kompetisi Eropa (walaupun kompetisi kasta kedua). Musim penuh pertamanya berakhir dengan peningkatan empat posisi di Premier League.
KESUKSESAN DI AWAL
Di divisi di mana posisi enam besar diperebutkan begitu ketat (Arsenal finis di posisi lima dengan jumlah poin yang bisa membawa Manchester United juara Liga 20 tahun silam), satu-satunya kekurangan musim 2016/17 Liverpool adalah kesuksesan mereka sendiri di awal: sulit untuk tidak kecewa saat perebutan posisi pertama berubah menjadi kejar-kejaran ke posisi empat besar.
Namun fakta bahwa skuat Liverpool yang kurang dalam dan terus diganggu cedera dan bisa memasuki tahun baru sebagai salah satu calon juara adalah pujian tersendiri untuk kekuatan Klopp sebagai pelatih.
Dan 'pelatih' adalah kata yang operatif, karena strategi Klopp memang selalu berdasar dengan tidak mengandalkan -secara relatif, setidaknya- belanja besar yang sangat sering dilakukan tim-tim papan atas. Bukannya berbelanja setumpuk pemain baru setiap musim panas, Klopp bekerja keras untuk membuat apa yang ia miliki sekarang lebih baik. Nyaris semua pemain di klubnya berkembang ke level tertentu di bawah bimbingannya.
Peningkatan Adam Lallana, Jordan Henderson, dan Roberto Firmino -dimana semuanya nyaris tenggelam ketika ia datang- adalah yang paling terlihat jelas, walaupun layak diakui juga bagaimana kemampuan Sadio Mane, Georginio Wijnaldum, dan Joel Matip semuanya meningkat segera setelah bergabung.
BERKEMBANG DENGAN HEMAT
Di bursa transfer musim panas perdana Klopp, setahun silam, Liverpool menghabiskan kurang dari setengah uang yang dikeluarkan klub-klub Manchester, £50 Juta lebih sedikit dari Chelsea, dan hanya  £ 2 Juta lebih banyak dari Leicester. Mereka adalah satu dari tiga klub Premier League yang mencatatkan keuntungan bersih, dan kelima pemain yang mereka beli memiliki rataan umur 24 tahun. Di masa solusi jangka pendek selalu jadi andalan, Klopp mencoba untuk mencapai kestabilan dengan mengutamakan solusi jangka panjang.
Pendekatan semacam ini mirip sekali dengan proyek Borussia Dortmund-nya dulu, di mana kejelian matanya dalam hal mencari potensi besar adalah salah satu yang paling tajam di Eropa (Ivan Perisic, Ilkay Gundogan, Shinji Kagawa, Mats Hummels, dan Robert Lewandowski semuanya dibeli dengan harga di bawah  £ 5 Juta).
Kemampuannya untuk tetap menjaga kondisi tetap kompetitif dengan sang klub rival yang secara rutin setiap tahun mengambil bintang Dortmund tampak cukup ajaib. Fans Liverpool akan berharap kengototannya untuk membina darah muda bisa memunculkan satu atau dua pemain asli dari dalam semacam Mario Gotze.
Dengan itu semua, Anda bisa mendebatkan bahwa Klopp nyaris menjadi korban kesuksesan PR miliknya sendiri: ia begitu menempel dengan sifat dirinya -antusiasme yang tanpa batas dan menyenangkan itu- sehingga mudah sekali orang melupakan betapa bagusnya dirinya sebagai seorang manajer.
Namun ini juga tidak sepenuhnya benar, antusiasme semacam ini jugalah yang membuatnya menonjol dari yang lain. Ya, kemampuan Klopp sebagai ahli taktik dan motivator berada di atas dengan nama-nama terbaik lain, tapi ia juga mampu menyatukan para fans dengan cara yang jarang bisa dilakukan orang lain.
DARI KUNING KE MERAH
Semuanya terbukti dengan teriakan kencang yang selalu muncul dari Yellow Wall di Westfalenstadion-nya Dortmund -dan meski di Merseyside masih alam proses- sudah terlihat bahwa Anfield semakin hidup semenjak kedatangan Klopp di pinggir lapangan.
Stadion yang sudah menghabiskan dua dekade tenggelam dalam kisah legendaris mereka sendiri dalam satu setengah tahun di bawah orang Jerman ini, mengalami setidaknya salah satu malam terbaik di kompetisi Eropa, kapasitas yang diperbesar, dan tingkat suara yang lebih kencang. Proses ini jelas bisa semakin kencang saat Liga Champions datang musim mendatang.
Sebut hal ini dengan apapun yang Anda mau -karisma, aura, va va voom, atau sederhana saja: ia disukai banyak orang- poinnya adalah Klopp memiliki hal ini. Dan di profesi di mana alasan, mencari kambing hitam, dan keluhan ala Mean Girls seringkali mendominasi, optimisme miliknya yang begitu cerah tampak menyegarkan.
Sepakbola - dan manajer khususnya - seringkali bersalah karena terlalu serius sepanjang waktu. Usaha keras Klopp untuk terus menikmati apapun itu adalah sebuah pengingat apa yang sebenarnya kita sukai di olahraga ini.
MASIH BISA BERKEMBANG LAGI
Klopp tidak sempurna. Masih ada keraguan mengenai kemampuannya mengganti pemain (atau lebih tepatnya tidak mengganti pemain; sesuatu yang mungkin bisa diobati dengan skuat yang lebih lengkap), dan apakah gegenpressing miliknya bisa langsung dimainkan di sepakbola Inggris tanpa kesulitan jangka panjang.
Bagaimana masalah cedera menghantam skuatnya di paruh kedua musim, dan timnya yang tampak kehabisan tenaga setelah pertengahan musim, menunjukkan ada perubahan yang harus dilakukan.
Tapi dalam hal kekurangan, ini semua tidak terlalu fatal. Sebagai seorang manajer, sulit untuk membantah anggapan bahwa ia nyaris memiliki paket yang paling lengkap. Namun jauh di atas taktik, team-talk, dan jaket yang kerap ia gunakan, satu hal yang paling menonjol dari Klopp adalah ia selalu terlihat menyadari betapa pentingnya sepakbola -yang membuatnya menjadi manajer yang jauh lebih penting dibanding banyak yang lainnya.

8. PEP GUARDIOLA
Guardiola datang ke sepakbola Inggris dalam salah satu masa paling restropektif mereka. Masih memiliki sisa-sia kebanggaan diri namun semakin merasa khawatir dengan posisi-nya sendiri, kedatangan salah satu ideologis paling handal di Eropa adalah sebuah rasa penasaran dan ancaman tersendiri; seseorang yang layak untuk disambut, tapi juga harus bisa dikalahkan.
Dan yang terjadi adalah kondisi yang menyelimuti musim perdana-nya di Manchester City adalah gabungan dari dua pandangan yang begitu berbeda. Dalam dua bulan perdana di Etihad, tim Guardiola meluncur mulis di negara ini dan dipenuhi dengan ide-ide baru dan kehidupan yang cerah. Ia datang, dan melakukan apa yang terbaik.
Kemudian datanglah White Hart Lane dan sebuah pelajaran penting di bawah matahari musim gugur. City dihancurkan oleh Tottenham dalam kekalahan 2-0 di awal Oktober dan semuanya pun tak pernah sama lagi. Guardiola pada akhirnya finis di posisi ketiga dengan jarak yang cukup jauh di Liga, sekaligus juga menderita kekalahan menyakitkan dari Monaco saat tersingkir di Liga Champions.
TITIK PENILAIAN SESEORANG
Tetap saja, sebuah penilaian untuk seorang manajer termasuk apakah ia mampu memisahkan dirinya dari kesuksesan timnya. Memori apa yang dicapai Guardiola di Barcelona dan Bayern Munich masih begitu jelas sehingga ketidamampuan City untuk mendapatkan kesuksesan yang sama dianggap, dengan alasan yang jelas, lebih ke kesalahan mereka sendiri, bukan Pep.
Pergerakan yang mulus dan lancar di lapangan nyaris tidak terjadi, dan tidak juga serangan kompleks yang sudah menjadi cirikhas miliknya selama satu dekade terakhir.
Barca dan Bayern sama-sama mendapatkan label sepakbola menyerang tersediri, namun sebagian dari kesuksesan mereka bergantung pada kemampuan untuk mendikte irama permainan. Mereka mengontrol bola dan tempramen para pemain. Ini tidak muncul di Inggris dan, lagi lagi, bukanlah sesuatu yang bisa disalahkan sepenuhnya pada sang pelatih.
Jika kedatangan Guardiola memberikan ketertarikan tinggi pihak netral, ini juga memberikan sinar yang tidak adil untuk skuat yang ia warisi. City terlalu condong ke arah depan untuk waktu yang lama, namun hal yang seringkali terlewat ini tampak begitu jelas musim lalu.
SKUAT KEBANYAKAN PENYERANG
Pengaruh pemain-pemain semacam Sergio Aguero, David Silva, Kevin De Bruyne, dan Yaya Toure begitu jelas, sehingga fokus ke kelemahan skuat ini tampak tidak terlalu penting. Mempermasalahkan rekanan buruk di bek tengah dan full-back yang semakin menua, seringkali diabaikan karena kekuatan serangan yang begitu jelas ini.
Tidak sekarang, tentunya. Karena gaya Guardiola sudah begitu familiar, publik sepakbola tahu bagaimana timnya tampil dan terlihat - dan yang ini sudah gagal untuk beradaptasi dan menunjukkan apa masalah mereka sebenarnya.
Jika ia tidak bisa membuat mereka bermain dengan baik, maka pasti ada masalah.
Hanya seminggu setelah musim usai, para petinggi City langsung mengeluarkan senjata kuat: Bernardo Silva diamankan dari Monaco dengan harga 40 Juta Pound dan kiper Benfica, Ederson, menyusul dengan harga yang sedikit lebih murah. Lelucon Claudio Bravo sudah berakhir di City, dan pembelian semacam ini menunjukkan satu hal yang pasti: 'Ini adalah kesalahan kami, bukan Guardiola'.
DUKUNGAN DARI BELAKANG
Semenjak kedatangan Txiki Begiristain dan Ferrean Soriano di Manchester, klub ini sudah mempersiapkan diri untuk momen ini. Manuel Pellegrini mungkin manajer yang cukup bagus, namun ia tidak pernah bisa memastikan identitas dirinya dan klub ini tidak pernah terlalu meyakinkan saat memberikan dukungan.
Namun sekarang, dengan struktur yang tepat dan manajer kelas atas di Eropa memimpin mereka, keagresifan yang baru ini semakin jelas. Ini adalah kabar buruk untuk orang lain di Negara ini: jika pola awal ini berlanjut dan City terus mengucurkan uang ke seluruh penjuru Eropa, maka Guardiola akan mendapatkan skuat yang disusun secara khusus untuknya. Kuat secara taktis dan tanpa banding secara teknis, ini akan mampu menerjemahkan kemampuan hebat yang ia punya di lapangan.
Saat uang mengalir seperti ini, beberapa manajer dianggap terlalu bergantung pada buku cek yang dikeluarkan klub. Saat karir Guardiola sejauh ini terus diuntungkan dengan sumber daya yang luar biasa, baik secara finansial atau manusia-nya, level kesuksesan yang ia capai bergantung pada karakter yang ia punya: bagaimana ia memperhatikan setiap detil dan kemampuan dirinya untuk mendikte tren baru, bukannya mengikuti apa yang sedang berjalan.
Dengan dua hal ini akan saling bergabung di City, masa karirnya saat ini bisa terbukti menjadi titik di mana ia menyemen posisinya di puncak untuk selamanya.

7. CARLO ANCELOTTI
Menjuarai Bundesliga adalah sesuatu yang biasa untuk Bayern Munich -kesuksesan raksasa Bavaria ini pada musim 2016/17 berarti mereka sudah finis di puncak sebanyak 27 kali, termasuk dalam lima musim terakhir. Meski begitu, saat mereka merayakan keberhasilan terakhir ini di Allianz Arena bulan lalu, nyaris mustahil tidak terkejut menyaksikan kebahagiaan yang dirasakan pelatih mereka, Carlo Ancelotti.
Orang Italia ini memiliki sederet panjang daftar gelar, namun ia resmi menjadi sosok pertama yang mampu memenangi gelar di empat dari lima Liga terbesar di Eropa -dan sangat ingin merayakannya dengan penuh gaya.
Bayern mengundang Anastacia ke pesta mereka, hanya untuk melihat Ancelotti mengambil alih mic -mungkin malah membuat banyak orang lega- dan menyanyikan I Belong To You-nya Eros Ramazzotti, sebelum menari bersama Anastacia di panggung.
Ia kemudian melanjutkan dengan menyanyikan The Best Years of Our Lives-nya Renato Zero dari atas balkon sambil melihat ke arah Marienplanz ketika perayaan terus berlanjut di pusat kota Munich. Sulit rasanya membayangkan ada manajer lain melakukan hal yang sama, namun memang sebenarnya tidak ada satupun yang akan bisa mengikuti jejak karir luar biasa ahli taktik berusia 58 tahun ini.
KEJAYAAN SEBAGAI PEMAIN DAN BOS
Ancelotti pindah ke sisi lapangan setelah menutup karir bermain yang luar biasa, memeangi gelar Serie A dan empat Coppa Italia bersama Roma sebelum bergabung dengan tim Milan yang hebat di akhir 1980an. Di sana ia menambah dua Scudetti lagi dan dua gelar juara Eropa, kemenangan beruntun di tahun 1989 dan 1990 yang membuatnya untuk pertama kali mengangkat trofi yang akhirnya akan menjadi penentu karirnya ini.
Sebagai bagian dari kualifikasi kepelatihan dirinya di Coverciano yang ternama di Italia, ia menulis sebuah tesis panjang berjudul: The Future of Football: More Dynamism, dan menghabiskan sisa hari-harinya mewujudkan hal ini di manapapun ia berada. Ancelotti menghabiskan semusim dengan Reggiana di papan bawah, membantu mereka mengamankan promosi ke Serie A sebelum pindah ke Parma, di mana ia memberikan tempat di Liga Champions dan embuktikan bahwa ia layak berada di titik tertinggi.
Juventus memilihnya sebagai pengganti Marcello Lippi, namun ia menjalani dua musim yang berat di Turin, kesulitan membantu tim yang sedang dalam masa transisi. Hasil dua kali finis di posisi kedua dianggap tidak cukup oleh Bianconeri dan Ancelotti pun dibuang, pemecatannya ini bahkan diumumkan saat jeda pertandingan di laga kandang melawan Atalanta.
Hanya beberapa bulan kemudian ia pindah ke Milan, dan lingkungan yang lebih familiar di San Siro -ditambah pelajaran keras yang ia dapat di Juve- menunjukkan determinasi yang baru dari 'Carletto'.
Ia memberikan gelar Liga Champions di musim keduanya, dengan mengalahkan Juventus di Final. Setahun kemudian, ia mengamankan Scudetto, dengan sukses menggabungkan talenta kreatif Andrea Pirlo, Rui Costa, dan Clarence Seedorf di lini tengah yang memberikan peluang demi peluang untuk pemain semacam Pippo Inzagh dan Andriy Shevchenko.
PAKAR LIGA CHAMPIONS
Dua penampilan di final kompetisi paling elit Eropa ini menyusul, di mana Milan secara terkenal kalah dari Liverpool di Istanbul sebelum membalas dendam dengan menaklukkan lawan yang sama di Athena pada 2007.
Dari sana, ia pindah ke Chelsea kemudian PSG, memenangi gelar Liga bersama keduanya (plus Piala FA dengan The Blues) dan menunjukkan lebih jauh lagi kemampuannya untuk bekerja di lingkungan penuh tantangan dalam tim-tim terbesar di Eropa.
Ini semua, tentu saja, membuatnya ada di posisi yang bagus untuk peran selanjutnya, sebagai manajer Real Madrid di mana ia hanya diberikan satu misi: mengakhir puasa selama satu dekade klub ini untuk meraih gelar Eropa ke 10. La Decima sudah menjadi obsesi tersendiri di ibukota Spanyol, dan Ancelotti memberikannya di musim pertama, langsung membuatnya menjadi pahlawan bagi para suporter dan membuat Cristiano Ronaldo menyebutnya, "pelatih yang hebat dan sosok yang luar biasa."
KESUKSESAN INTERNASIONAL
Setahun  kemudian   ia   dipecat   oleh  Florentino Perez,  namun   ini   jelas   tidak   menghapus   pandangan   publik   soal   hal   fantastis  yang  sudah   ia   kerjakan   sebelumnya . Ancelotti pun  bersikap   dengan   kelas  dan  gaya - nya  yang  biasa .
Entah itu di Inggris, Perancis, Spanyol, atau Jerman, timnya selalu menyenangkan untuk disaksikan; para pemain bergerak dengan lancar di lapangan, menguasai bola dengan passing yang rapi dan akurat, sekaligus bermain dengan gaya menyerang yang menggabungkan skill, aksi di lapangan, dan efisiensi.
Ia tidak pernah protes saat bahkan pemain penting dijual, meski ia tidak menginginkannya, ia menerima segalanya dengan biasa saja dan cukup menjelaskan dengan alis yang diangkat -tanpa perlu mengatakan apapun.
Ia sudah menunjukkan kemampuan yang unik untuk terlibat dengan bintang-bintang paling berbakat, sebuah skill yang membuat Paolo Maldini berkata, "tidak ada tim di Dunia ini yang tidak bisa dilatih oleh Carlo". Tentu saja kita tidak bisa mendebat ini.

6. LEONARDO JARDIM
Apakah ada manajer sederhana untuk tim yang meraih kesuksesan tinggi belakangan ini semacam Leonardo Jardim di Monaco? Maestro asal Portugal ini menjadi otak di belakang perubahan tim asal Riviera ini menjadi salah satu tim paling menarik di Eropa selama 12 bulan terakhir -sambil tetap menjaga dirinya tetap ada dalam bayang-bayang.
Berbeda dengan manajer lain, tidak ada gegenpressing atau label penguasan bola heboh lain yang bisa Anda tempelkan pada Jardim. Ia juga tidak menarik perhatian banyak orang semacam Thomas Tuchel atau Pep Guardiola. Namun setelah membuang keduanya di Liga Champions saat membawa timnya lolos ke semifinal di musim semi kemarin, rasanya pelatih kelahiran Venezuela ini tidak akan terlalu khawatir soal ini.
Membawa Monaco menjuari gelar Ligue 1 perdana mereka dalam 17 tahun -dan melakukannya dengan mencampakkan PSG yang disebut banyak orang tak tersentuh di level domestik- adalah sesuatu yang impresif. Ditambah lagi lolos ke empat besar Liga Champions dan memainkan sepakbola yang brilian sekaligus penuh resiko yang membuat banyak fans di berbagai tempat berbahagia benar-benar membuat para kritikus harus duduk dan memperhatikan apa yang ia lakukan.
PENAMPILAN YANG MENIPU
Menjadi pelatih di usia 27 tahun, Jardim punya cukup banyak pengalaman -namun ia bahkan lebih junior dari yang Anda sadari. Meski memiliki ekspresi sedih dan bentuk tubuh yang tampak tua, ia baru berusia 42 tahun, membuatnya setahun lebih muda dari Tuchel, tiga tahun lebih muda dari Mauricio Pochettino, dan empat tahun di bawah Guardiola.
Saat ia mengambil alih Monaco di tahun 2014, ia dianggap sebagai pilihan yang mengejutkan dan tentu saja ada banyak keraguan datang. CV yang kompeten namun biasa saja mencatatkan nama-nama Braga, Sporting, dan Olympiakos sebagai tim-tim sebelumnya membuat banyak yang percaya ia dipilih sebagai sosok yang aman-aman saja untuk menjaga Monaco bergerak ke arah yang benar, dan menjadi sosok yang tidak terlalu penting hingga butuh bantuan agen Jorge Mendes untuk melepas pengaruh besarnya ke para pengambil keputusann di Stade Louis II.
Mungkin ada kebenaran dari teori ini -dan koneksi Portugal Jardim memang tidak mengganggunya sama sekali -ia jauh dari seorang 'Yes Man'. Seorang komunikator yang penuh skill namun sering tak terlihat, ia memilih jalan secara perlahan melalui koridor klub yang dalam beberapa waktu terakhir menyaksikan pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan di dalamnya.
Hubungannya dengan pemilik Monaco, Dimitry Rybololev biasa saja, namun ia bekerja dengan sukses bersama bos sehari-harinya: wakil presiden Vadim Vasilyev. Ia juga menunjukkan sisi yang lebih tangguh saat ia tetap bertahan dan Claude Makalele pergi setelah masa yang buruk selama enam bulan ketika mantan pemain tengah Perancis ini menjadi direktur teknis.
Meski Monaco-nya menciptakan banyak gol, Jardim tetap sulit disebut manajer yang berfokus pada serangan saja: timnya memang menciptakan 107 gol di Ligue 1 musim lalu, namun mereka menciptakan hanya 57 dan 51 gol di dua tahun perdananya. Malah, ia lebih tepat disebut sebagai seorang pragmatis yang menolak untuk dikaitkan dengan satu sistem atau filosofi saja.
Kemampuan miliknya adalah mencium bakat satu per satu pemain yang disediakan departemen pencari bakat yang ternama klub ini, dan memainkan mereka dengan cara yang paling efektif.
MENGAMBIL KEPUTUSAN YANG TEPAT
Musim lalu, Jardim memutuskan segalanya dengan benar. Secara permanen memindahkan pemain Brazil, Fabinho, dari bek kanan ke lini tengah adalah sebuah langkah juara. Menggunakan Bernardo Silva dan Thomas Lemar sebagai pemain sayap walaupun keduanya memilih bermain lebih ke tengah jelas memberikannya hasil yang bagus. Dan ia bahkan menemukan cara untuk menyambut kembali Falcao setelah dua musim yang menyedihkan di Inggris, dan membangkitkan lagi karir orang Kolombia ini.
Jardim juga pemberani: tidak semua pelatih mau meminta fullback semacam Djibril Sidibe dan Benjamin Mendy untuk menyerang dengan begitu kencang, seringkali bersamaan. Jardim melakukannya, dan ini terbayar dengan sempurna. Keputusan untuk memberikan posisi di lini tengah untuk Teimoue Bakayoko di depan Joao Mourinho tampak jelas sekarang, namun kondisi nya sama sekali berbeda saat Jardim melakukannya tahun lalu.
Setelah menjadikan dirinya sebagai pelatih paling diincar di Eropa, pertanyaan-nya adalah: apalagi sekarang? Akankah Jardim bertahan di Monaco dan melanjutkan apa yang sudah ia bangun dalam 12 bulan yang luar biasa kemarin, atau mencari tantangan baru di luar negeri? Apakah ia sudah disiapkan untuk menjadi penerus Arsene Wenger di Arsenal suatu saat nanti, seperti yang dilaporkan beberapa pihak?
Jardim baru baru ini memperpanjang kontraknya dengan Monaco hingga 2020 -tapi apakah ini relevan? Semua orang di sepakbola tahun persis kontrak hanyalah alat untuk menawar. Strategi transfer Monaco dalam dua tahun terakhir adalah membeli pemain dengan murah dan menjual mereka di waktu yang tepat untuk mendapatkan keuntungan yang oke. Tidak akan mengejutkan jika strategi ini juga dilakukan pada manajer mereka dalam waktu dekat nanti.

5. JOSE MOURINHO
Ada sebuah cerita tentang Daniel Radcliffe mengerjai para paparazzi saat beperan dalam sebuah pertunjukan teater, dengan menggunakan pakaian yang sama persis setiap harinya saat ia pergi dari gedung pertunjukan. Ini artinya untuk sang fotografer, foto di satu hari akan tidak berbeda dengan hari lainnya, dan semuanya pun jadi tidak berguna.
Manajer Manchester United, Jose Mourinho, menunjukkan level PR yang nyaris sama setelah ia membawa United menjuarai Europa League musim lalu. Manajer asal Portugal ini mengangkat tiga jari saat pemberian trofi, meminta para pemainnya melakukan hal yang sama dengannya di depan kamera.
Segera saja tiga gelar yang bisa dibilang paling kurang bergengsi untuk klub ini -Europa League, League Cup, Community Shield- menjelma menjadi "treble". Ini adalah sebuah sentuhan perubahan ajaib yang rasanya bisa dibanggakan oleh karakter paling ternama yang pernah dimainkan Radcliffe.
WAKTU YANG ANEH
Mourinho mengisi posisi yang aneh di hirarki manajerial saat ini. Apa yang sudah ia menangi -delapan gelar Liga di empat negara berbeda, delapan kompetisi domestik, empat gelar Eropa- sudah menjadikannya salah satu yang terbaik sepanjang masa di profesi-nya. Tapi saat ini reputasinya harus diperbaiki setelah roda berputar ke bawah di perjalan keduanya di Chelsea.
Manajer Portugal ini selalu paham bagaimana sesuatu akan dimainkan di media. Bahkan perayaan terkenal-nya di sisi lapangan Old Trafford ketika membawa Porto meraih gelar Liga Champions di tahun 2004 tampak diciptakan untuk mengirimkan pesan.
Beberapa mungkin mengkritik dirinya yang terlalu memperhatikan sisi manajemen yang ini, dan tidak cukup banyak untuk bagaimana timnya terlihat di lapangan. Ia tetap menjadi seorang pakar sihir gelap. Ia membawa Porto meraih gelar Eropa dengan gaya bermain yang bergantung pada lini belakang yang solid dan menanti lawan membuat kesalahan.
When it comes to the crunch matches against title rivals, Mourinho reverts to type. Secara umum, ia melakukan ini sepanjang karirnya, bahkan saat sumber daya dan harapan baginya terus meningkat. Di United musim ini, ini menelurkan penampilan yang sulit dan tumpul saat timnya kesulitan untuk membongkar tim yang lebih kecil, dan meraih hasil imbang yang terlampau banyak sepanjang musim.
LOYALITAS DI ATAS SEGALANYA
Mourinho meminta loyaliyas dari para pemainnya, dan biasanya membalas dengan tuntas. "Ia adalah 'Special One' karena ia menang," ucap Paul Pogba di akhir musim. "Ia adalah manajer yang begitu dekat dengan pemain. Secara pribadi, ia menyambut saya, kami berbicara dan saya langsung merasa nyaman semenjak awal. Ia percaya dan membela saya. Itulah yang dibutuhkan ppemain manapun."
Tapi ini rasanya tidak berlaku ke semua anggota skuat-nya, dan bagaimana caranya menghadapi pemain menunjukkan fleksibilitas dari sisi yang berbeda. Banyak manajer yang keras, namun hanya sedikit yang sekasar Mourinho saat ia mengurusi masalah Luke Shaw.
Bahkan Alex Ferguson, terkenal dengan hairdryer-nya saat berbicara di kamar ganti, menyadari bahwa ia harus mengubah cara pendekatannya saat sekelompok pemain yang lebih muda mulai datang di Old Trafford. Mourinho jelas menyadari ini, namun perubahan tidaklah mudah.
"Saya harus bisa beradaptasi ke dunia baru dan bagaimana pemain muda sekarang," ucapnya ke France Football di wawancara baru baru ini. "Saya harus mengerti bedanya bekerja dengan anak-anak seperti Frank Lampard yang, di usia 23 tahun, sudah jadi seorang Pria -yang memikirkan soal sepakbola, pekerjaan, profesionalism -dan anak-anak baru sekarang, yang di usia 23 tahun masih seperti anak-anak.
“Sekarang saya memanggil mereka 'anak-anak' dan bukan 'pria'. Karena saya merasa mereka memang masih seperti itu dan segalanya di sekitar mereka tidak membantu mereka dalam hidup ataupun pekerjaan saya. Sepuluh tahun lalu, tidak ada pemain yang punya handphone di kamar ganti. Sekarang semua berbeda. Tapi Anda harus bisa menghadapinya, karena jika melawan ini maka Anda akan menciptakan konflik baru dan terancam meletakkan diri Anda di zaman batu."
"THE GROUCHY ONE"
Satu hal yang berubah di satu dekade ini adalah sifat Mourinho. Saat ia pertama muncul, 'The Special One' penuh semangat dan cerah, seringkali mempesona. Namun sekarang, di usia 54 tahun, ia lebih sering tampak kelelahan, sering menggerutu, dan bahkan kasar. Jika ini -seperti yang seringkali kita dengar- adalah pekerjaan yang selalu ia inginkan, mengapa ia terlihat begitu menyedihkan?
Mungkin saja ini karena berbagai beban yang ia terima sepanjang karirnya yang berpindah-pindah. Setelah Porto dan Chelsea, ia sukses di Liga Champions bersama Inter, namun kegagalan untuk memenangi kompetisi ini bersama Real Madrid masih terasa pahit. Begitu juga bagaimana semuanya berakhir di Chelsea -Anda masih bisa melihatnya saat Mourinho kembali ke Stamford Bridge di Piala FA musim ini.
Pelatih hebat asal Hungaria, Bela Guttmann, pernah menyebutkan bahwa tahun ketiga di sebuah klub adalah masa yang "fatal", karena pemain biasanya mulai lengah, atau hubungan mereka dengan manajer hancur lebur. Mourinho sudah menjalankan peraturan ini sepanjang karirnya, namun jika segalanya berjalan dengan baik di Manchester United, ia bisa saja mendadak berada di situasi yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
Sekelompok manajer muda yang baru mulai berdatangan dan permainan mulai berubah. Pakar sihir gelap manajerial yang satu ini mungkin harus mempelajari beberapa trik baru -namun ada tanda-tanda yang muncul di musim 2016/17 kemarin bahwa Jose Mourinho masih punya satu atau dua trik lagi yang ia sembunyikan.

4. DIEGO SIMEONE
Yang paling berbahaya saat menilai Diego Simeone adalah, karena ia memberikan standar yang begitu tinggi, masa-masa kurang suksesnya bisa secara salah dianggap sebagai pencapaian yang kurang atau bahkan kegagalan total.
Tentu saja, kata-kata ini bisa sangat tepat untuk dalam beberapa sisi menggambarkan Atletico Madrid di musim lalu. Mereka tertinggal cukup jauh dari Real Madrid dan Barcelona di La Liga, mengoleksi 10 poin lebih sedikit dari setahun sebelumnya. Mereka dihancurkan Madrid 3-0 di Liga Champions. Kebobolan lebih banyak gol. Tidak memenangi apapun.
Namun ini hanya bisa dianggap kekecewaan dalam hal era emas yang diciptakan Simeone di Vicente Calderon; semacam dunia impian di mana hukum yang menghubungkan antara keuangan dan hasil di lapangan bisa diabaikan, dan duopoli di Spanyol bisa ditantang dan sempat dihancurkan sementara. Sumber daya yang ada dimaksimalkan dengan luar biasa. Hal luar biasa telah lama menjaddi biasa saja.
Kenyataannya, penurunan Atletico tampak memang tidak bisa dihindari setelah satu musim di mana mereka bertarung memperebutkan gelar dan kalah di Final Liga Champions melalui adu penalti. Untuk nyaris pelatih manapun, musim ini masih tampak seperti sebuah kesuksesan. Pertanyaan untuk Simeone sekarang adalah apa yang akan terjadi selanjutnya.
NILAI UANG YANG BERHARGA 
Melihat ke belakang, empat tahun terakhir Atleti tampak seperti rollercoaster, meskipun titik rendah mereka tetap saja lebih tinggi dari titik puncak yang mereka capai sebelum Simeone mengambil alih di Desember 2011 silam.
Dalam enam setengah tahun, El Cholo memenangi La Liga, Copa del Rey, dan Piala UEFA, dan membawa Atleti finis di tiga besar selama lima musim beruntun. Di tahun 2014, mereka marih gelar dengan mengumpulkan 90 poin dan menembus final Liga Champions. Mereka kemunian menurun di 2015, berada di posisi 3 dengan 78 poin, sebelum melompat kembali ke 88 poin dan tampil di final lagi. Musim ini mereka kembali ke 78 poin.
Tetap saja, tujuan dasar mereka sudah tercapai. Mereka sudah menjadi yang 'terbaik di antara yang lain' di belakang Real Madrid dan Barcelona, dan membuat the Catalans berjuang keras di semifinal Copa Del Rey. Di Eropa, mereka juga tersisih di level yang sama.
Ini sama sekali tidak buruk, apalagi jika melihat total gaji yang mereka keluarkan di musim 2015/16 masih lebih rendah dari Swansea, Stoke, dan Sunderland.
ATAP KACA
Di waktu yang sama, hambatan finansial ini membuat Atleti sulit untuk bertarung memperebutkan gelar yang besar tahun depan. Bahkan Simeone sekalipun tidak akan mampu menciptakan keajaiban setiap saat, dan beberapa hal yang muncul musim ini menunjukkan bahwa tim ini akan kesulitan untuk memecahkan atap kaca mereka untuk ketiga kalinya.
Musim lalu adalah pertama kalinya dalam empat tahun mereka tidak kehilangan pemain kunci, setelah sebelumnya harus menggantikan Falcao (2013), Diego Costa (2014), dan Arda Turan (2015). Mereka juga menambahkan Kevin Gameiro, Nicolas Gaitan, Sime Vrsaljko. Namun hasil-hasil yang muncul menurun dan yang paling mengkhawatirkan adalah dua kekalahan 3-0 dari Real Madrid, sekali di kandang di La Liga, dan satu lagi di semifinal Liga Champions, di mana mereka menyerah dengan tidak biasa.
Secara taktik, Simeone kembali lagi mencoba membuat tim ini lebih menyerang, dengan para penyerang sesekali bermain di sayap. Atletico menciptakan tujuh gol lebih banyak di musim 2016/17 dibanding setahun sebelumnya, walaupun yang terlihat di lapangan menunjukkan bahwa mereka sebaiknya tetap melakukan apa yang paling bisa mereka lakukan: bertahan dengan keras dan menyerang balik denga akurat.
Mereka mengumpulkan kembali nilai-nilai dasar ini setelah kekalahan 3-0 di Villareal pada pertengahan Desember, kalah hanya dua kali dan kebobolan 13 kali saja di 23 pertandingan terakhir. Ini adalah tipe penampilan yang akan Simeone inginkan di musim baru nanti.
PAHLAWAN YANG MENUA
Apakah hal ini akan terwujud masih harus kita nantikan. Akan ada tantangan besar, salah satunya pergantian Stadion yang akan menghilangkan kenyamanan di rumah yang penuh intimidasi untuk lawan milik Vicente Calderon yang rapuh dengan Estadio Metropolitano yang baru. Ada juga hukuman transfer, yang melarang klub ini membeli siapapun hingga Januari.
Beberapa pasukan loyal mereka sudah menua. Sosok lini belakang semacam Juanfran, Diego Godin, dan Filipe Luis semuanya di atas 30 tahun, dan kapten Gabi akan berusia 34 tahun di bulan Juli ini. Mereka semua menjadi simbol pengorbanan dan keberanian yang selalu ada di klub ini di bawah Simeone, yang tampaknya merasa satu-satunya cara untuk memiliki pengganti yang layak untuk mereka adalah dengan menciptakan clone para pemain ini.
Tetap saja, ada tanda-tanda optimisme muncul. Antoine Griezmann siap untuk bertahan dan, di atas segalanya, Simeone pun bertahan meski rumor kepindahan terus muncul.
"Klub ini memiliki masa depan dan masa depannya adalah kita semua bersama," ucap sang pelatih di konferensi pers terakhirnya, memberikan harapan baru untuk para fans setia yang tahu persis, selama ia masih ada bersama mereka, segalanya akan tetap mungkin terjadi.

3. MASSIMILIANO ALLEGRI
Sulit sekali membayangkan bagaimana caranya Max Allegri bisa melampaui musim perdana-nya di Juventus. Setelah disambut di lapangan latihan klub dengan banyak cercaan (dan bahkan beberapa lemparan telur) pada bulan Mei 2014, orang Livorno ini dengan cepat membuktikan bahwa semua yang meragukannya salah.
Di luar bagaimana masa-nya di Milan yang berakhir dengan menyedihkan, ketidaksukaan suporter Bianconeri lebih ke kekecewaan karena harus kehilangan Antonio Conte dibandingkan dengan keputusan mendatangkan sosok baru yang dengan segera menyadari bahwa hanya kesuksesan lah yang bisa memenangkan hati mereka.
Pada 2014/15, ia memberikan tidak hanya gelar ganda perdana dalam 20 tahun, tapi juga satu tempat di final Liga Champions. Ia melakukannya hanya dengan tambahan kecil dalam skuat yang Conte tidak percaya bisa berkompetisi dengan klub-klub elit utama Eropa. Allegri mungkin harus rela melihat timnya dihantam Barcelona, namun saat musim 2014/15 berakhir, mungkin kekhawatiran terbesarnya adalah bagaimana ia bisa membangun kembali tim ini.
PERUBAHAN BESAR
Andrea Pirlo, Arturo Vidal, dan Carlos Tevez semuanya pergi, dilanjutkan 12 bulan kemudian dengan kehilangan Alvaro Morata dan Paul Pogba. Bukannya Juve luluh lantak, sang pelatih malah bisa dibilang membangun tim yang lebih kuat, sekelompok pemain serba bisa yang membuatnya bisa memilih cara yang ia ingin menghadapi lawan manapun, dan satu tim yang terus memberikan gelar dengan jumlah yang luar biasa.
Dua musim kemudian ia memberikan dua lagi gelar Serie A dan Coppa Italia, dan musim ini sang Nyonya Tua juga kembali lagi ke final kompetisi tertinggi Eropa. Ia kalah lagi kali ini dari Real Madrid, namun pembantaian 3-0 melawan Barcelona di perempat final menunjukkan apa yang bisa dilakukan oleh tim Juventus ini.
Ini adalah hasil dari sosok di pinggir lapangan.
Sudah menjadi bos paling lama yang bertahan semenjak era pertama Marcello Lippi (1994 ke 1999), Allegri diberikan kontak baru selama tiga tahun di musim panas ini yang menjadikannya manajer paling mahal di Serie A. Ini mengahiri rumor kepindahan dirinya ke Arsenal dan PSG, sekaligus memberikan Bianconeri stabilitas yang mereka tidak punyai di tujuh tahun terahir -hanya tujuh pemain dalam skuat sekarang yang sudah ada di klub sebelum Allegri datang.
MANAJER KESAYANGAN PEMAIN
Hanya sedikit yang bisa menyalahkan keputusannya untuk bertahan, apalagi dengan adanya talenta muda semacam Alex Sandro dan Paulo Dybala muncul dan terus berkembang di bawah bimbingannya.  Mereka semua terus memuji sosok yang memberikan begitu banyak pada mereka. "Allegri pada awalnya memainkan saya dengan sangat berhati-hati; ia tahu persis apa yang ia lakukan," ucap Dybala di Mediaset Premium baru baru ini. "Ia memberikan saya waktu yang cukup untuk mengerti dan memahani klub ini dengan lebih baik lagi."
Tapi bahkan pemain yang lebih tua pun terkejut dengan pengaruh sang pelatih, dengan Patrice Evra -yang sudah pernah bekerja dengan manajer-manajer luar biasa termasuk Alex Ferguson- memberikan komentar yang paling menggambarkan segalanya.
"Allegri adalah pelatih yang mudah dimengerti dan ia tidak senang bekerja dengan orang bodoh," kata orang Perancis ini pada La Gazzetta dello Sport. "Ia menunjukkan pada Anda jalannya dan saya menyadari siapa yang saya hadapi sebelum leg kedua menghadapi Borussia Dortmund musim lalu. Ia menunjukkan kami semua gaya passing mereka dan saya melihat semuanya muncul di lapangan. Luar biasa, saya tidak pernah memiliki pelatih yang melakukan ini."
MENEMUKAN KEMBALI KESUKSESAN
Allegri juga sudah mengikuti cara Ferguson dalam hal menemukan kembali tim sambil terus menumpukkan kemenangan demi kemenangan.
Ini sama sekali tidak mudah, dan mungkin harus lebih banyak dipuji. Begitu juga dorongan kencang dan gairah yang ia perlihatkan, sesuatu yang seringkali dilewatkan semua orang karena Allegri lebih sering dianggap sebagai sosok profesional yang kerap memberikan jawaban diplomatis untuk pertanyaan sulit.
Namun menyaksikan dirinya berteriak di pinggir lapangan dan mengamuk ke bahkan pemain terbaik miliknya karena kesalahan kecil, jelas sekali ada gairah luar biasa besar yang tersembunyi di balik sampul berkilauan yang dikira orang.
Siapapun yang duduk dekat dengan bangku cadangan di Juventus Stadium akan menjadi saksi -90 menit di sana akan menjadi les kilat bahasa kasar dan makian ala Tuscan. Bahkan di televisi, teriakan 'Dai! Dai! Dai!' (Ayo!) seringkali bisa didengar di luar kencangnya suara para penonton.
Hal-hal semacam ini -seperti juga memenangi trofi- adalah sesuatu yang selalu ditawarkan oleh Allegri. Para fans Juventus akan berharap ini akan terus bertahan untuk setidaknya beberapa tahun ke depan.

2. ZINEDINE ZIDANE
Ada ketidaktenangan yang muncul di sekitar Zinedine Zidane, sebuah perasaan bahwa kesuksesan Real Madrid memenangi Liga Champions dan La Liga entah bagaimana bukan karena dirinya.
Ia bukanlah seorang inovator seperti Pep Guardiola. Ia tidak punya aura otoritas diktator ala Alex Ferguson, ataupun cara keras ala Jose Mourinho. Beberapa orang mengatakan ia beruntung, diberkahi pemain-pemain hebat. Tentu saja siapapun bisa memenangi gelar ganda dengan Real Madrid.
Tapi ini salah. Sebelum Zidane datang, Real tidak pernah memenangi gelar ganda di Liga dan Eropa semenjak tahun 1958. Dalam 18 bulan di level tertinggi, ia menjadi orang pertama semenjak Arrigo Sacchi yang sukses memenangi dua gelar Eropa secara beruntun -sesuatu yang tidak bisa dilakukan siapapun selama 27 tahun.
Jadi, Zidane jelas melakukan hal yang benar. Namun dengan kerendahan hatinya, cukup sulit untuk menerima apapun itu, dan sebesar apa perannya dalam segala hal. Ia sudah pasti bagus. Tapi sebagus apa?
PSIKOLOG DAN DIPLOMAT
Salah satu bagian ketidakpastian ini berpusat pada harapan yang ada di Madrid. Di sisi lain ada dalam diri Zidane sendiri. Tenang dan rendah hati, ia menggambarkan nilai-nilai senorio yang Madrid inginkan, menolak untuk menyombongkan diri ataupun menjelaskan taktik miliknya. Saat yang lain memuji-muji kemampuan diri mereka sendiri, ia tampak jauh merendah.
Hal ini membuat pengaruhnya seolah tidak terlalu terlihat, dan ditambah lagi, ia tidak datang dari sebuah kesuksesan yang diramalkan banyak orang akan menjadi pertanda bagus di dunia manajer masa depan. Kita semua sudah merasakan Guardiola cukup bagus saat ia membawa Barcelona B promosi; saat ia kemudian sukses besar di tim utama, semuanya tampak masuk akal.
Namun saat Zidane datang di Januari 2016, ia tidak punya apa-apa (sebagai manajer, setidaknya) selain pengalaman sebagai penasihat, direktur, dan asisten tim utama; satu musim mendampingi Carlo Ancelotti ditambah masa penuh bencana di tim pelapis Castilla.
Sekarang, Zidane mampu bekerja lebih baik dengan para pemain. Secara krusial, yang mereka butuh bukanlah seorang sersan yang tegas, tapi seorang operator sederhana yang mampu menjaga segalanya stabil; seorang psikolog dan diplomat yang memahami dinamis menyulitkan di dalam klub dan kamar ganti. Zidane menjalani peran ini dengan sempurna.
BULAN MADU YANG DIPERPANJANG
Pertandanya sudah muncul sejak awal. Zidane bersinar di depan kamera, berbicara tentang tradisi klub, komitmen ke sepakbola menyerang, dan berjanji memenangi banyak hal. Seperti politisi, ia mengatakan apa yang ingin didengar orang. Tapi tidak seperti politis, ia mampu memenuhi janjinya.
Tetap saja, baru di musim inilah bakatnya benar-benar muncul. Di enam bulan pertama, klub ini mendapatkan dorongan kencang dari membuat Rafa Benitez yang tidak populer. Sebagian alasan kesuksesan Zidane adalah dirinya sekedar menjadi orang lain. Keberuntungan berperan membantu Madrid dalam meraih gelar Liga Champions dan, saat mereka sempat tertatih di bulan September silam, bulan madu tampaknya usai.
Tapi Zidane berhasil menstabilkan kembali klub ini dan mendapatkan hasil yang dibutuhkan, seringkali bahkan tanpa organisasi di lapangan. Saat Madrid tertinggal, keajaiban individu milik mereka dan sifat pantang menyerah berhasil menyelamatkan poin demi poin. Saat badai tiba, mereka tetap bersatu dan tenang.
Benteng mental yang kokoh semacam ini bisa dikatakan hasil dari kamar ganti yang menyenangkan, sesuatu yang menjadi rahasia terbesar Zidane. Tidak seperti biasanya, hanya ada sedikit sekali kebocoran dan keluhan yang muncul. Mentor utamanya, Ancelotti, mengatakan bahwa hubungan dengan pemain adalah kunci dan, jelas sekali di Madrid, ada argumen yang menyebut bahwa selama skuat merasa nyaman, talenta mereka akan membawa tim ini kemanapun.
DEL BOSQUE YANG BARU
Ditambah lagi, Zidane sudah menunjukkan kemampuannya dalam merotasi skuat. Membuat sembilan perubahan sekaligus, ia melepas 'tim B'-nya menghancurkan tim-tim di ajang domestik, sebelum membawa pemain-pemain kelas A menenggelamkan Atletico Madrid, Bayern Munich, dan Juventus di Eropa. Simbol dari perencanaan cerdas ini adalah Cristiano Ronaldo, yang diberikan lebih banyak waktu istirahat, lalu merespon dengan mengakhir musim 2016/17 seperti kereta ekspress kencang, menciptakan 16 gol dalam 10 laga terakhir.
Sepanjang perjalanan sudah semakin jelas bahwa Zidane meniru gayanya dari Ancelotti. Namun ia mungkin lebih mirip degan Vicente del Bosque, yang manajemen tak menghebohkan miliknya membawa Madrid meraih dua gelar Liga dan Liga Champions dari tahun 1999 hingga 2003. Seperti Zidane, Del Bosque adalah mantan pemain tengah Madrid yang menjadi pelatih Castilla. Seperti Zidane, ia memimpin  tim yang dipenuh galactico dengan begitu baik, sehingga terlihat begitu mudah.
Saat Del Bosque dilepas pada tahun 2003, Madrid tidak memenangi apapun selama tiga tahun selanjutnya, dan di saat itulah semua orang baru menyadari sebagus apa pekerjaannya. Nasib yang sama rasanya tidak perlu terjadi untuk Zidane mendapatkan pujian layak dari apa yang sudah ia lakukan.

1. ANTONIO CONTE
"Apakah Anda pergi ke Gereja saat Paskah?"
"Apakah Anda berdoa?"
"Jika Anda memenangi gelar, apakah Anda akan membeli sesuatu untuk diri sendiri?"
Antonio Conte menjadi sosok yang unik di konferensi pers menjelang pertandingan di penghujung musim lalu. Setiap pekan, orang Italia ini akan dibawa ke media room di Cobham, tempat latihan Chelsea, melalui pintu samping, dan selama sekitar 20 menit datanglah serangan dari pers Inggris, yang mengisi senjata mereka dengan peluru berwujud pertanyaan absurd agar bisa mendapatkan berita tambahan darinya.
Anda tidak bisa menyalahkan para wartawan yang kehabisan bahan pertanyaan. Saat musim 2016/17 nyaris berakhir, Conte sudah menjawab semua pertanyaan tentang sepakbola dengan sempurna.
Pria 47 tahun ini sudah sangat sukses dengan Juventus, tentu saja, dan bekerja dengan sangat baik dalam tim Italia yang lapar akan talenta di Piala Eropa 2016. Namun saat manajer asing dengan nama besar datang ke tempat ini, selalu ada pertanyaan apakah mereka bisa 'meladeni' atmosfer unik milik Premier League.
PERUBAHAN LUAR BIASA
Dalam masa perubahan yang drastis, transformasi Chelsea di bawah Conte tetap saja luar biasa. Dengan memenangi Premier League, mereka finis 10 posisi di atas dan 43 poin lebih banyak dibandingkan musim sebelumnya.
Ada tuduhan biasa yang muncul mengenai keuntungan mereka karena tidak perlu bermain di kompetisi Eropa setiap pekan, dan Anda mungkin bisa menganggap skuat ini dipenuhi pemain dengan potensi yang tak terpenuhi. Mereka, tentu saja, berhasil memenangi Liga ini 12 bulan sebelumnya, sebelum era kedua Jose Mourinho meledak.
Tapi berkat kekuatan man management Conte lah mereka semua bisa kembali pulih dengan begitu cepat dan meyakinkan pemain semacam Eden Hazard dan Diego Costa untuk kembali bekerja keras dan bersinar. Kasus Victor Moses adalah contoh yang bagus; dibuang dengan status pinjaman oleh Mourinho, orang Nigeria ini mendapat dukungan dari Conte, dan posisi baru sebagai bek sayap. Ia terbukti menjadi salah satu pemain terbaik The Blues sepanjang musim.
Dalam konferensi pers, Conte ucapannya halus, nyaris malu-malu, sangat berbeda dengan figur penuh kemarahan dan tak berhenti bergerak yang kita saksikan berteriak-teriak di pinggir lapangan dalam pertandingan. Apapun itu, ia adalah karakter yang terus menuntut. Para pemain membicarakan sesi latihan yang ketat, dan fokus luar biasa ke detil terkecil sekalipun. Di Chelsea, ia membawa kegunaan analisis video ke tingkat selanjutnya, memaksimalkan pertandingan dan sesi latihan ke sesuatu yang tidak pernah disaksikan di klub manapun sebelumnya.
THE HAMMER
Ini mungkin menjadi salah satu alasan perubahan taktiknya berjalan dengan begitu bagus. Setelah kalah dari Arsenal di bulan September, Conte langsung mengubah formasi ke 3-4-3, lalu menjalani periode tak terkalahkan yang kemungkinan besar menjadi kunci kemenangan Chelsea di Liga. Manajer yang lebih lemah mungkin tak akan bisa membawa sekelompok pemain veteran semacam ini -yang sudah terbiasa dengan cara mereka sendiri- untuk mengikuti kemauannya, namun Conte punya cara unik untuk menyebarkan ide miliknya. Beberapa mantan anak asuhnya memanggilnya 'The Hammer'.
"Saat Conte berbicara, kata-katanya seolah menyerang Anda," tulis Andrea Pirlo -yang bermain di bawah Conte di Juventus- dalam otobiografi-nya I Think Therfore I Play. "Mereka masuk dengan kencang melalui pintu pikiran Anda, seringkali dengan kasar dan menusuk jauh di dalam diri. Saya sudah tidak tahu lagi berapa banyak saya mengatakan pada diri sendiri 'Hell. Conte mengatakan sesuatu yang sangat tepat lagi hari ini.' Saya sudah tahu bahwa ia memang bagus, tapi tidak sebagus ini. Saya sudah bekerja dengan banyak pelatih sebelumnya dan ialah yang paling mengejutkan."
Ia mendapatkan bimbingan yang cukup bagus, bekerja di bawah pelatih legendaris semacam Arrigo Sacchi, Marcello Lippi, dan Giovanni Trappattoni (masa-masa sebelum Irlandia). Dari mereka ia mengembangkan gaya bermain sebagai pemain tengah box-to-box tanpa kompromi dengan Lecce dan Juventus, dan ia membawa sifat ini sebagai manajer. Bagaimana caranya menghadapi Costa adalah satu contoh.
PRIA KELUARGA
Namun mungkin kekuatan terbesar Conte adalah meski ia seorang penuntut dan tanpa ampun, ia tetap bisa menciptakan suasana seperti keluarga di klub manapun yang ia pimpin. Ia melakukannya di Juventus, yang ia bawa meraih tiga gelar Serie A secara beruntun. Ia melakukannya lagi di Tim Nasional Italia.
“Dalam 50 hari yang kami habiskan bersama, kami menciptakan sesuatu yang unik dan luar biasa; sebuah keluarga," ucapnya setelah Azzuri tersingkir dari Piala Eropa 2016. "Saat kami kalah dari Jerman, kami menangis karena kami tahu kami tidak akan bertemu lagi besoknya."
Conte adalah sebuah campuran tersendiri; gabungan dari manajer pemarah yang terus berteriak -menendang botol dan memaki di kamar ganti- dan sosok ayah, dengan tangannya di atas bahu dan pengetahuan lengkap sisi emosional setiap pemainnya.
Dengan dirinya menyambut musim kedua di sepakbola Inggris, dengan Liga Champions masuk dalam daftarnya, hanya ada satu pertanyaan lagi yang layak dilemparkan: Bisakah ia melakukannya lagi?

Top 20 Mobil Sport Termahal di Dunia Tahun 2017 20 - Finansialku

1 komentar:

Stadion Terbesar Di Indonesia

Stadion Utama Gelora Bung Karno (Jakarta) Sejak Bung Karno, presiden pertama Indonesia, memancangkan tiang pertama dalam pembangunan stad...